Kucing Pincang
Aku pernah punya kucing, seekor kucing oranye dengan kaki pincang. Papa membawanya dari pinggiran jalan fly over di Ring Road Barat. Kucing itu berperawakan kecil, dekil, dan tidak terurus. Jelas ia adalah kucing kampung. Kondisi kucing itu memprihatinkan. Ia baru saja ditabrak mobil yang mengakibatkan kakinya mengalami kecacatan. Otomatis ia berjalan tertatih-tatih dengan darah mengucur di pergelangan kaki. Melihat hal itu, hati nurani papa tergerak sehingga timbullah keinginan untuk membawanya pulang. Kucing itu pun dirawat di rumah. Syukurlah lambat laun kondisi kucing itu semakin membaik meski kakinya pincang.
Memelihara kucing bukanlah hal yang baru dalam keluarga kami. Mama adalah penyayang kucing. Bahkan, dulu ia pernah mempunyai 7 kucing sekaligus dalam rumah kami. Bisa dibayangkan betapa ramainya rumah kami ditinggali dan diseliweri kucing-kucing tersebut. Sayang, kucing-kucing itu tidak bertahan lama di rumah kami. Papa tidak menyukai keberadaan kucing-kucing yang masih dalam masa imut-imutnya itu. Jika ditanya alasannya, aku pun tak tahu. Padahal, urusan makanaan dan kotoran dia tak pernah ambil urusan. Ketidaksukaannya semakin menjadi ketika ia memutuskan membuang semua kucing itu ke pasar. Kucing-kucing itu dimasukkan ke dalam karung beras sebelum dilempar ke pasar. Mama marah besar waktu itu. Kucing-kucing tak berdosa itu dibuang dengan mudahnya oleh papa. Sakit.
Pikirku kebiasaan papa bakal berubah dengan kehadiran si kucing pincang itu. Dia sendiri bahkan yang membawanya pulang. Dugaanku keliru. Setelah kucing itu diberi makan, disayang, diberi rumah barulah kebiasaan buruknya kambuh. Terlanjur jatuh hati malah dibikin remuk berkali-kali. Sakit bin aneh.
Padahal, dulu keluarga kami juga sempat punya anjing. Ada dua malah, tetapi dalam jangka waktu yang berbeda. Nasib anjing-anjing itu pun sama dengan kucing-kucing yang aku ceritakan. Anjing itu dibuang atau lebih tepatnya dijual kepada pedagang daging anjing. Miris membayangkan anjing yang kami pelihara selama ini harus berakhir di gudang pembantaian. Mungkin anjing itu sudah jadi salah satu menu di warung berlabel B1 di Jogja. Entah. Sekarang mama pun ogah memelihara hewan lagi di rumah. Takut sakit hati, katanya.
Memendam rasa sakit memang tak mengenakkan. Mengharapkan perubahan pada seseorang pun sia-sia. Tergantung indivdu itu memiliki komitmen atau tidak. Atau, individu itu perlu penanganan lebih lanjut — ke psikiater, misalnya. Barangkali yang harus dipelihara pertama kali bukanlah hewan, melainkan kewarasan jiwa lahir dan batin. Dan, mungkin itulah yang dibutuhkan papa saat ini.
Sebagai anak, aku pun perlu memperhatikan kesehatan mental orangtuaku. Literasi tentang kesehatan mental tidak boleh jadi milikku seorang. Salah satu agendaku ke depan adalah membawa papa ke psikiater. Semoga beliau dapat semakin memahami dirinya sendiri dan mampu sembuh dari kebiasaan buruknya.
Sebagai individu, aku juga harus menyadari bahwa hal-hal di dunia ini sementara. Ajaran Buddha mengatakan hal yang sama. Kelekatan justru membawa penderitaan. Lepas bebas adalah kunci menghadapi hidup yang tak pasti. Kebahagiaan dan kesedihan sangatlah dinamis. Respons atas kejadian yang menimpaku juga jauh lebih penting dibanding meratapi nasib karena hal-hal di luar kendaliku. Jika memang ditakdirkan untukku pasti tak ‘kan ke mana. Jika tidak, sekuat apapun berusaha ya pasti lepas juga.
Percayalah bahwa pengalaman buruk sekalipun, pasti tertimbun hal-hal baik yang layak disyukuri. Semua tergantung sudut pandang. Doakan aku, ya semoga papa lekas membaik dan sembuh. Sebenci-bencinya aku terhadapnya, tetap ada rasa cinta yang tak terdefinisikan oleh kata-kata.